Paper 2

Carlson, Bonnie E., Cacciatore, Joanne and Klimek, Barbara. 2012. “A risk and resilience perspective on unaccompanied refugee minors.” Social Work 57 (3): 259-269. https://doi.org/10.1093/sw/sws003

Paper ini mengkaji tentang pengalaman unaccompanied refugee minors (URMs)/UAM yang beradaptasi di negara destinasi. Proses adaptasi mereka dipengaruhi oleh faktor resiko seperti kehilangan atau terpisah dengan keluarga, pengalaman traumatis, dan masalah kesehatan, serta faktor pelindung berupa pola pikir positif, rumah asuh yang menerima keberadaan mereka dengan baik, keterlibatan dalam organisasi sosial dan keagamaan.

  • Adanya sistem support dan role model yang berpengaruh pada faktor resiko dan pelindung pada anak-anak pengungsi/pengungsi muda di Indonesia

Berdasarkan pengalaman beberapa peserta diskusi, faktor resiko dan pelindung para pengungsi anak dan pengungsi muda di Indonesia dipengaruhi oleh sistem dukungan yang berbeda yang kemudian berimplikasi pada hasil yang berbeda. Faktor pelindung kebanyakan dipengaruhi oleh adanya komunitas dan orang-orang yang lebih tua (pengganti sosok keluarga), yang bisa menjadi role model untuk mereka. Role model ini sangat berpengaruh pada bagaimana anak pengungsi tanpa pendamping membawa diri mereka, bergaul dengan komunitas luar, sehingga ini juga bisa membangun resiliensi mereka.

Selanjutnya sosok role model yang lebih tua, dengan perbedaan usia yang jauh ternyata memberikan rasa percaya diri kepada mereka untuk lebih terbuka menceritakan masalah mereka. Sebaliknya, apabila role model lebih muda atau tidak lebih tua dapat berakibat pada kurangnya dampingan karena faktor kesiapan dan ketersediaan waktu, serta memungkinkan susahnya membangung kepercayaan.

Adanya role model juga bisa membantu pengungsi anak dan pengungsi muda dalam hal pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri . Sebagai contoh di konteks kelompok Hazara, mereka sering terinspirasi dari tokoh penting di negara atau komunitas mereka, contohnya politikus. Mereka berharap bisa menjadi role model bagi pengungsi lainnya, dengan melihat atau mengikuti perkembangan dari tokoh penting di berita internasional meskipun mereka sedang berada di negara lain. Informasi yang mereka peroleh memberikan gambaran dan menimbulkan rasa keterkaitan dengan dunia luar, dan dari sana ada aktualiasi diri untuk menjadi seseorang (role model) yang berguna bagi komunitas mereka. Di sisi lain, kehadiran role model ataupun menjadi role model sangat penting karena dapat menghidupkan harapan selama masa transit yang tidak pasti kapan akan berakhir. Jadi bisa dikatakan, role model memiliki andil besar dalam meningkatkan resiliensi para pengungsi anak dan pengungsi muda.

Selain itu, kehadiran layanan sosial yang rutin memonitor keadaan mereka memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tinggal bersama dengan mereka. Jadi bisa dikatakan, berkurangnya faktor resiko dan meningkatnya/berkembangnya faktor pelindung tergantung pada lingkungan mereka yang punya role model atau support system yang baik atau tidak.

Di Indonesia juga ada UAMs/URMs yang punya kebutuhan khusus akibat PTSD, faktor resiko ini menjadi lebih buruk karena keterbatasan akses ke psikolog dan juga kendala bahasa , konflik dengan orang rumah. Di sisi lain, ada juga beberapa pengungsi yang tidak percaya dengan layanan sosial yang ada, sehingga mereka memilih menutup diri dan berakibat adanya sindrom tersendiri terhadap orang-orang atau kelompok tertentu. Mereka kemudian berkonsultasi dengan pekerja sosial lulusan psikologi yang berperan sebagai pendengar masalah mereka, berdampak pada sedikit teratasinya masalah dan sindrom dari pengungsi anak/muda. Bisa dikatakan bahwa perlakuan terhadap pengungsi anak/pengungsi muda tidak harus tergantung pada kehadiran psikolog namun juga kehadiran atau peran dari orang-orang sekitar yang mau mengobrol dengan mereka dan menjadi pendengar.

  • Refleksi terhadap penanganan pengungsi muda dan pengungsi anak tanpa pendamping di Indonesia (UAMs/URMs)

Paper ini memberikan pelajaran menarik tentang bagaimana kita bisa melihat kemungkinan adanya tantangan integrasi pengungsi selama di negara transit atau negara destinasi. Penting dipahami bahwa setiap pengungsi membawa faktor resiko akibat beragam latar belakang budaya, pengalaman traumatis yang mempengaruhi psikologis mereka serta cara pandang mereka terhadap lingkungan baru dan bagaimana mereka menghadapi tantangan di tempat baru sambil mengatasi trauma bawaan dari negara asal. Hal ini menjadi pelajaran bagi tata kelola pengungsi secara umum yang seringkali mengkerdilkan pengalaman traumatis pengungsi yang ternyata punya pengaruh besar dalam proses adaptasi mereka di lingkungan baru.

Di Indonesia sendiri sebagai negara transit, isu yang sering dikedepankan adalah tentang livelihood dan kebutuhan dasar, sehingga masih kurang mekanisme penanganan pengungsi yang memberi perhatian khusus pada psikologis pengungsi, padahal sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa sebenarnya pengalaman di negara transit yang serba tidak pasti ini malah lebih menambah beban kepada pengungsi secara psikologis. Di Indonesia sudah ada beberapa kasus pengungsi yang memilih bunuh diri, hal ini menunjukkan bahwa faktor resiko mereka begitu kuat, terbawa-bawa sampai ke negara transit (atau bahkan jadi lebih parah) dan tidak tersedianya atau tidak memadainya faktor pelindung oleh komunitas setempat atau lewat mekanisme tata kelola pengungsi di negara kita.

Di sisi lain, resiliensi pengungsi anak dan pengungsi muda di Indonesia sangat berkaitan juga dengan aspek livelihood dan kebutuhan dasar, sehingga aspek ini harus dimasukkan dalam analisis faktor resiko. Latar belakang paper ini sedikit berbeda dengan kondisi pengungsi Indonesia pada umumnya, di mana keputusan pengungsi yang ada di Indonesia adalah karena adanya pengaruh dari komunitas atau keluarga mereka. Selanjutnya yang perlu diperhatikan juga adalah terkait kesiapan mereka untuk bermigrasi ke negara transit, dengan durasi tinggal yang tidak jelas berapa lama yang akan juga berpengaruh pada resiliensi mereka. Resiliensi pengungsi anak dan pengungsi muda juga bisa dipengaruhi dengan adanya penguatan sense of belonging di komunitas yang ada sebagai suatu faktor pelindung.