Belgia vs Indonesia

Program communal living bisa berjalan di Belgia karena sejarah Belgia yang merupakan cultural hub/melting pot dari beberapa negara di Eropa. Belgia berpengalaman dalam manajemen multikultural sehingga mereka telah memiliki pondasi yang kuat untuk menginisiasi program ini. Pemerintah Belgia sendiri mengintegrasikan program ini kedalam salah satu kebijakan manajemen migrasi mereka, tak heran program ini sangat komprehensif, ditambah dengan buddy yang sudah dilatih terlebih dahulu.

Di Eropa sendiri, konsep co-housing bertujuan untuk menjalin interaksi antar masyarakat, dan mereka berhasil mencapai tujuan itu. Dalam konteks Indonesia, untuk mencapai tujuan yang sama belum bisa menggunakan konsep tersebut karena Indonesia tidak mengenal konsep co-housing. Walaupun demikian, dari segi tipologi housing, rumah-rumah di Indonesia berpotensi untuk membuat interaksi informal lebih besar prospeknya dibandingkan dengan tipologi akomodasi di negara maju.

Terkait melting pot, Indonesia sendiri adalah negara yang multikultural dan memiliki beberapa melting pot namun belum didesain secara khusus untuk menjadi alternatif pengapilkasian program semacam ini. Pemerintah juga belum terekspos dengan contoh seperti ini ditambah minimnya kerjasama antara pemerintah, peneliti dan pembuat kebijakan menyebabkan orang-orang yang terjun di lapangan (Contoh: Aceh dan Makassar) kebingungan untuk mencari solusi yang tepat.

Di Makassar sendiri ada program serupa yang merupakan holistic program (tersedianya akomodasi, buddy, dukungan profesional dan servis konseling). Program ini tersedia sampai pengungsi berusia 18 tahun, khusus untuk biaya hidup mereka diarahkan untuk mencari dana sendiri. Program ini berhasil mencapai tujuan integrasi sosial lewat pembelajaran bahasa (bahasa Inggris dan bahasa lokal), pertukaran kebudayaan secara informal (lewat kuliner dan aktivitas bersama).

Kritik

Buddy untuk program ini dinilai tidak equal atau artifisial karena mereka sudah diberikan pelatihan untuk bisa menemani para pengungsi. Hal ini akan berpengaruh juga pada model interaksi buddy yang cenderung dibuat-buat atau tidak natural. Selain itu, ada ketakutan bahwa proses integrasi sosial tidak akan berjalan bagus/beresiko untuk merugikan kedua belah pihak. Pengungsi memiliki mental dan emosi yang lebih rentan, maka ada tendensi untuk buddy dan juga pengungsi memiliki beban tersendiri dalam mengikuti program ini.

Yang bisa dipelajari/diadopsi dari program ini?

  • Program ini dilihat mampu menangkal prasangka terhadap pengungsi karena ada komunikasi dua arah yang intens antara pengugnsi dan buddy. Hal positif ini bisa diadopsi di Indonesia dalam skala yang lebih kecil untuk mengatasi masalah stereotyping yang marak terjadi, bisa dalam bentuk aktivitas yang edukatif di lingkup komunitas.
  • Program ini bisa menjadi salah satu strategi yang bisa diadopsi pemerintah apabila di kemudian hari para pengungsi di Indonesia sudah bisa memperoleh akses pendidikan yang sama dengan penduduk lokal. Bisa dalam bentuk asrama pelajar yang menampung baik pelajar lokal maupun pengungsi yang usianya sebaya dan sama-sama tidak ada keluarga yang menemani, namun tetap ada pembimbingnya. Tipologi asrama pelajar bisa 1-unit menampung 6-8 orang yang dilengkapi dengan ruang komunal di setiap unit. Khusus untuk buddy, pemberian beasiswa sebagai stimulus untuk konsisten dalam mengikuti program ini.
  • Indonesia dapat mencapai tujuan yang sama dengan program ini dengan mengadaptasi ruang-ruang komunal publik yang sudah ada sebagai tempat berinteraksinya orang lokal dan pengungsi (Contoh: Masjid).

Yang perlu diperhatikan dalam penerapan/adopsi program communal living?

  • Payung hukum dan kebijakan dari pemerintah serta kepastian pendanaan sebelum menginisasi program semacam ini karena di Indonesia sendiri dana pengelolaan pengungsi masih dibebankan kepada IOM dan organisasi terkait lainnya yang fokus pada isu pengungsi. Pemerintah bisa melakukan pendekatan kepada instansi pendidikan untuk menjalankan program ini (Cth: asrama pelajar)
  • Penyeragaman kebijakan di dalam pemerintah terkait penerimaan masyarakat terhadap pengungsi karena penerimaan masyarakat di Makassar dan Jakarta kepada pengungsi berbeda.
  • Pemilihan lingkungan dan lokasi yang dapat mengakomodasi dan mendorong pengungsi berinteraksi dengan masyarakat sekitar
  • Dalam prosedur perekrutan, perlu dipastikan bahwa baik dari buddy dan pengungsi tidak akan ada pengaruh radikal yang berfokus pada agama/kepercayaan tertentu, kalaupun ada pengelompokkan berbasis agama, hal itu tidak akan dijadikan kompromisasi bagi kepercayaan radikal (menghindari munculnya ancaman baru)
  • Sebelum mendesain akomodasi penting untuk mempelajari demografi dari para pengungsi dan kondisi sosial dari masyarakat sekitar agar konsep communal living bisa diterima/cocok bagi kedua belah pihak.
  • Perlu diperhatikan apa saja common value yang dimiliki oleh pengungsi dan masyarakat lokal (benang merah) sehingga bisa tercipta communal living yang damai.

Paper 3

Strang, A.B., and Quinn, N. 2019. “Integration or Isolation? Refugees’ Social Connections and Wellbeing.Journal of Refugee Studies, June. https://doi.org/10.1093/jrs/fez040.

Studi pengungsi dan kaitannya dengan kajian tentang resettlement pada umumnya lebih menekankan pada interaksi internal komunitas pengungsi (bonding) dan interaksi pengungsi dengan budaya masyarakat host country (bridging). Pembahasan bahwa proses ‘Bonding’ dan ‘Bridging’ adalah proses yang terpisah dalam konteks resettlement dianggap tidak membantu pada prakteknya.

Dalam artikel ini dibahas sebuah eksperimen lewat Focus Group Discussion kepada single men refugees yang ada di Glasgow. Eksperimen tersebut difokuskan pada framework trust building, tidak hanya pada proses ‘bonding’ dan ‘bridging’. Trust building itu sendiri mengacu pada bagaimana pengungsi berinteraksi dengan komunitas mereka. Eksperimen bertujuan untuk memetakan koneksi sosial atau mencari tahu network apa saja yang dimanfaatkan para pengungsi selama proses pemenuhan kebutuhan mereka. Eksperimen ini menunjukkan bahwa para pengungsi masih mengandalkan jaringan komunitas mereka di masa-masa awal mereka berada di tempat baru.

Dalam konteks trust-building framework, para pengungsi yang memiliki kebutuhan psikologis yang berbeda mengidentifikasi komunitas mana yang dapat mereka percaya dalam proses resettlement. Untuk mencapai proses trust-building, perlu dimulai dari enhancing resilience within one’s self. Para pengungsi harus sudah bisa berdamai dengan diri sendiri sebelum mereka bersosialisasi dengan sesama pengungsi dan komunitas setempat.

Proses trust-building juga berpengaruh dalam ide communal living di negara transit atau resettlement. Apakah program communal living akan menjadi proyek yang subtitutif atau komplementer terhadap refugees housing yang sudah ada? Melihat psikologis proses trust-building itu sendiri, akan lebih mudah jika pengungsi memulainya dari komunitas pengungsi. Selanjutnya dapat dilihat apakah ide communal living bisa dikembangkan sebagai proyek yang komplementer dan tidak substitutif terhadap refugees housing.