Integrasi Sosial untuk Pengungsi

Diskusi Kepo Journal kali ini membahas tiga artikel bertema Integrasi Sosial untuk Pengungsi

Paper 1

Dubus, N. 2018. “Integration or Building Resilience: What Should the Goal Be in Refugee Resettlement?Journal of Immigrant & Refugee Studies 16 (4): 413–29. https://doi.org/10.1080/15562948.2017.1358409.

Paper ini membahas tentang sebuah studi kualitatif di empat negara yakni Amerika Serikat, Swiss, Jerman, dan Islandia, terhadap 110 partisipan yang berprofesi sebagai agensi/administrator dan penyedia layanan social untuk para pengungsi, dengan tujuan untuk mencari tahu pendapat mereka tentang apa sebenarnya kebutuhan dari para pengungsi yang sedang dalam masa menunggu resettlement. Apa yang sebaiknya menjadi goals dalam masa resettlement para pengungsi?

Dalam sesi paper 1, peserta diskusi memberikan pendapat yang diawali dengan menyebutkan kutipan dari para partisipan yang dirasa menarik. Kutipan tersebut diantaranya:

‘Participants who responded in ways consistent with seeing the goal of resettlement as “lessening the transition burden” perceived their role as a bridge between the world of their past and the one they are in.

‘Other workers described evidence of resilience as when they feel the locus of control in them’

‘Why would it? It’s not my job to tell someone how they should live their lives or what it means to live here. My job is to meet the person where they are at, and help them reach their goals.’

‘I think integration is about integrating within one’s self’

‘I think the best way is to force them to learn the language’

Beberapa kutipan tersebut menunjukkan bahwa perspektif para partisipan (para administrator dan penyedia layanan sosial untuk pengungsi) beragam terkait apa yang dibutuhkan oleh pengungsi selama masa transit atau dalam persiapan untuk resettlement.

Dalam diskusi beberapa pandangan yang muncul diantaranya:

Partisipan berperan dalam menjembatani antara kehidupan masa lalu para pengungsi dengan kehidupan mereka di masa sekarang. Masa lalu dari para pengungsi yang menyakitkan ditambah dengan kesulitan beradaptasi di masa sekarang menempatkan mereka sebagai pihak yang sangat membutuhkan asistensi dan support sosial yang memadai untuk bisa bertahan di masa transisi.

Para pengungsi juga memiliki psikologis yang kompleks, terbentuk oleh karena kehilangan perlindungan dari negara asal akibat perang, konflik, dan sebagainya. Di satu sisi, kompleksitas tersebut menjadi modal bagi mereka agar bisa memperoleh kesempatan untuk resettlement di negara ketiga. Untuk itu, tujuan resettlement seharusnya bagaimana partisipan membantu mereka membangun resiliensi dan memperkuat/memampukan mereka untuk menghadapi dan mengelola segala beban dan kesusahan di masa transit ataupun di negara ketiga nanti.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan bahwa partisipan sebaiknya berperan sebagai pihak yang tugasnya mengarahkan dan memfasilitasi para pengungsi. Alih-alih mengharuskan mereka untuk menguasai bahasa negara transit atau memperoleh pekerjaan, partisipan sebaiknya berkomunikasi dengan para pengungsi, bertanya kepada mereka terkait skills apa saja yang ingin mereka pelajari dan kuasai sehingga nantinya di negara ketiga mereka tidak kesusahan untuk beradaptasi kembali. Peran partisipan dalam memberikan support social yang tepat guna bagi para pengungsi dapat menumbuhkan kemandirian mereka.

Terkait pendapat partisipan yang mengharuskan pengungsi untuk bisa menguasai bahasa negara tersebut bisa dikaji lewat sebuah narasi bahwa bahasa adalah sebuah prasyarat untuk asimilasi kebudayaan yang dominan di negara baru. Kemampuan berbahasa dalam konteks ini tidak terbatas pada seberapa fasihnya mereka, namun juga bagaimana mereka bisa memahami frasa lokal/setempat. Sebagai contoh para pengungsi yang ada di Makassar lebih bisa berasimilasi dengan kebudayaan setempat karena mereka telah memahami frasa lokal dan aksen daerah tersebut.

Paper 2

Mahieu, R., and Van Caudenberg, R. 2020. “Young Refugees and Locals Living under the Same Roof: Intercultural Communal Living as a Catalyst for Refugees’ Integration in European Urban Communities?Comparative Migration Studies 8 (1): 12. https://doi.org/10.1186/s40878-019-0168-9.

Paper ini membahas tentang sebuah riset di Antwerp, Belgia terhadap suatu program communal living yang ditawarkan kepada para pengungsi muda berusia 17-20 tahun yang sendirian di Antwerp dan para pemuda lokal berusia 20-23 tahun. Mereka diberikan tempat tinggal di community housing dengan bentuk yang beragam. Riset difokuskan pada eksplorasi terhadap motivasi dan manfaat dari mengikuti program ini.

Pertanyaan yang menuntun diskusi paper 2 adalah apakah konsep ini cocok untuk diterapkan di negara transit seperti Indonesia? Jika cocok, bentuk akomodasinya kira-kira seperti apa dan pemuda lokal/buddy-nya seperti apa, dan apa saja yang harus disiapkan?

Dalam diskusi ditemukan bahwa mayoritas pandangan merasa pesimis bahwa program communal living ini bisa diterapkan di Indonesia dikarenakan beberapa faktor diantaranya:

  • Isu pengungsi yang belum menjadi prioritas pemerintah dan posisi Indonesia sebagai negara transit, bukan negara destinasi
  • Mispersepsi dari masyarakat lokal terhadap pengungsi

Beberapa pandangan lainnya melihat program ini memungkinkan untuk bisa diterapkan di Indonesia dengan syarat:

  • Harus ada komitmen nyata dan dukungan dari pemerintah dalam bentuk menyediakan kebijakan yang memungkinkan program ini bisa diterapkan di Indonesia
  • Harus ada komunikasi dan kerjasama antar pemerintah, akademisi dan praktisi yang fokus pada isu pengungsi di perkotaan.

Dari dua klaster pandangan di atas, ada beberapa catatan penting terkait program communal living, yaitu: mengapa program ini bisa sukses di Belgia dan belum tentu sukses di Indonesia, kritik terhadap program ini, serta hal-hal apa yang bisa dipelajari dari program ini yang memungkinkan untuk di implementasi di Indonesia termasuk juga apa yang perlu diperhatikan dan dikawal jika program ini diterapkan di Indonesia.