Catatan Diskusi

Terkait pandemi, sekarang dunia masih dalam situasi darurat. Dan mengingat bahwa pandemi global terakhir adalah 100-an tahun lalu, perencanaan apapun dalam beberapa dekade terakhir ini tidak ada yang mengantisipasi krisis akibat pandemi global (tidak ada pembelajaran dari pengalaman sebelumnya yang terlacak dalam perencanaan untuk pengungsi). Refleksi bahwa perencanaan kamp pengungsi dalam skala besar perlu memperhitungkan bila krisis kesehatan seperti ini terjadi lagi. Misalnya dari sisi keruangan, perlu dipikirkan layout isolasi untuk sekelompok orang.

  • Dalam sebuah webinar lain, ada informasi bahwa pengalaman dari dua pandemi di masa lalu termasuk pandemi flu Spanyol tidak tercatat dalam sejarah nasional Indonesia, sehingga terlupakan. Tidak ada catatan tentang jumlah tepat jutaan korban yang meninggal serta penanganannya, namun ada catatan tersimpan pada komunitas etnis (ditemukan bahwa ada lontar yang mencatat sejarah ini). Hal ini menunjukkan bahwa sejarah wabah adalah sejarah kekalahan, sementara sejarah yang tertulis adalah sejarah pihak yang menang. Meskipun pendiri Indonesia adalah dokter dan insinyur, ketika wabah melanda, banyak orang Indonesia yang tidak diselamatkan (Note: pandemi flu Spanyol adalah di tahun 1918, ketika Indonesia masih berupa Hindia Belanda).
  • Masalah Pandemi untuk seluruh sektor masih baru, baik dari sisi resiko pengurangan bencana (DRR), perencanaan kota, dll, karena kita tidak belajar dari sejarah, sama halnya dengan tsunami, gempa, dll. Pembelajaran tidak dicatat dengan baik dan tidak dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga generasi baru tidak paham resikonya dan bagaimana terjemahannya ke dalam DRR, perencanaan kota, perencanaan kebencanaan, arsitektur dan standar bangunan, dsb. Sehingga seperti belajar dari nol lagi.

Leading sector untuk pandemi di gugus tugas Covid-19 adalah kementerian kesehatan yang mungkin kurang pengalaman dalam menangani pandemi, dan BNPB yang juga belum pernah menangani bencana non alam. Apalagi bila ditambah 1 lapisan isu berupa pengungsi yang belum dianggap sebagai urusan negara. Webinar tentang pandemi dalam konteks dan desain kota masih sedikit, dan para pakar pun masih pada bingung tentang peran mereka dalam pandemi ini. Tapi contoh menarik misalnya adalah belajar dari struktur kota di beberapa negara ditemukan bahwa untuk bencana kesehatan seperti skarang, dimana rumah sakit bisa kelebihan kapasitas, keberadaan ruang terbuka hijau atau ruang publik penting untuk menjadi kapasitas tambahan. Lalu dalam kondisi darurat banyak orang bekerja dari rumah dan semua sekolah tutup. Pemerintah bisa mengeksplorasi pemanfaatan ruang sekolah atau lainnya yang tidak terpakai sebagai daerah karantina.

  • IOM sedang melakukan advokasi di Makassar untuk misalnya menggunakan fasilitas umum untuk karantina dsb, namun masih berupa dialog. Pemerintah pun belum bisa menggratiskan layanan rapid test untuk warga, apalagi untuk pengungsi, sehingga bila dibutuhkan maka perlu didanai oleh IOM. Dalam situasi krisis yang membutuhkan keputusan cepat, akhirnya masing-masing organisasi mengambil keputusan yang dirasa perlu.
  • Koordinasi IOM dengan pemerintah dalam hal perlindungan kesehatan di masa pandemi ini, tetap melalui gugus tugas di masing-masing daerah, yang melibatkan dinas terkait. Di Makassar, untuk kesehatan adalah melalui Dinas Kesehatan, namun jalur advokasi juga melalui gubernur dan walikota, dinkes. Terkait pandemi, suster dari IOM juga turun langsung ke akomodasi untuk melakukan pemeriksaan, screening, etc, melalui kerja sama yang baik dengan Dinkes.

Hal penting di Indonesia itu adalah bahwa ada ruang kosong yang digunakan untuk lockdown (penutupan daerah) lokal ini. Pemerintah kita masih mencoba meningkatkan coping dalam menangani covid19 ini. Terkait pengungi misalnya, di Tanjung Pinang ada arahan baru yang dibuat oleh imigrasi untuk pengungsi terkait jaga jarak, cuci tangan dll, namun tidak ada protokol tentang apa yang terjadi bila ada yang terinfeksi. Tidak ada proteksi kesehatan dan akses ke puskemas juga sangat bergantung pada IOM. Ada juga pertanyaan tentang apakah ada kekhawatiran dari IOM bahwa pendanaan tidak akan cukup untuk menghadapi pandemi. Di tingkat paling mikro, saat ini banyak desa menerapkan lockdown sendiri. Dalam hal ini, garda perlindungan terdepan sebenarnya berada di tingkat masyarakat, sehingga keberhasilan menghadapi pandemi akan sangat tergantung pada pemimpin masyarakat itu sendiri.

Covid-19 dianggap sebagai Kejadian Luar Biasa dalam terminologi kesehatan. Biasanya dalam organisasi internasional ada panduan dasar, yang akan ditinjau bila ada KLB seperti pandemi saat ini. Panduan yang standar ada di organisasi internasional adalah panduan untuk respon bencana berdasarkan jumlah orang yang terdampak bencana tersebut dan tingkat keparahan bencana. Namun terlepas dari bencana atau bukan, tiap organisasi punya dokumen internal seperti Business Continuity Planning. Semua organisasi itu akan merujuk pada BCP untuk menilai bagaimana suatu ‘business’ (organisasi, project) dapat tetap berjalan di suatu kondisi khusus. Ada juga Contingency Planning, yang fokusnya lebih eksternal. Untuk organisasi internasional urusan pengungsi, panduan penanganan Covid-19 di COVID dibuat setelah kejadian melalui kolaborasi antara IOM, iFRC, dan sebagainya. Dalam konvensi 1951, kesehatan tidak menjadi satu pasal tersendiri tapi menjadi bagian dari social security.

Terkait skenario kesiapsiagaan bencana dalam kamp pengungsi, ada skema, standar, rencana respon resiko bencana, dll, di badan internasional, namun karena standar internasional, aplikasinya akan tergantung pada pemerintah daerah. Contohnya, kamp pengungsi domestik (IDP) di Palu yang dibangun oleh lembaga seperti WFP, IOM, UNHCR, dst punya rencana semacam itu, namun penerapannya kembali lagi kepada pemerintah. Kesiapsiagaan terhadap bencana masih sangat kurang terutama di negara berkembang. Namun untuk bencana seperti pandemi, tidak terlalu jelas.

Terkait komitmen GCM dan GCR, dampaknya belum terasa di lapangan, apalagi karena ada keterbatasan dalam menerjemahkan komitmen ini di negara non-konvensi. IOM/UNHCR terus melakukan advokasi ke pemerintah negara untuk menerjemahkan GCM dan GCR. Salah satu bentuk dampak tidak langsung dari GCR adalah penempatan pengungsi yang tidak lagi berada di Rumah Detensi Imigrasi.