Memoar - Ela (ID)
Nama saya Laylah Fiamanillah Ahmad, biasa dipanggil Ela. Saya bekerja di bagian administrasi salah satu sekolah. Tapi di luar itu, saya juga terlibat sebagai relawan untuk sebuah program pengungsi di bawah naungan sebuah lembaga mitra IOM di Makassar.
Saya mulai kenal dengan pengungsi pada tahun 2016. Saat itu saya dikontrak untuk mengajar di kelas pengungsi anak tanpa pendamping, artinya mereka yang berusia di bawah 18 tahun yang datang ke Indonesia tanpa keluarga. Umumnya, mereka adalah anak laki-laki.Â
Sebagai guru, hampir setiap hari saya datang ke akomodasi. Target saya sebenarnya hanya mengajar, tapi ternyata tidak semudah itu. Saya harus melakukan pendekatan secara personal dan mengenali apa masalah mereka. Proses tersebut berjalan selama satu tahun sampai sebagian mulai menceritakan masalah atau opininya. Saya sempat diminta supaya tidak terlalu peduli pada apapun perkataan mereka. Tapi hasil interaksi kami berbeda. Sebagian anak sangat baik, ada juga yang butuh perhatian. Menurut saya, mereka hanya ingin diperlakukan sama seperti yang lain, tidak seperti orang yang numpang. Pandangan saya terhadap mereka sedikit demi sedikit berubah. Yah, meskipun saya tidak langsung percaya juga pada semua ucapan mereka. Tapi semakin mengenal mereka, semakin kelihatan sisi yang banyak orang tidak tahu.
Banyak anak yang saya hadapi yang datang sendirian. Mereka mendapatkan pekerja sosial atau orang tua asuh selama tinggal di sini. Tapi mungkin karena rentang usia yang tidak terlalu jauh, saya merasa mereka lebih hormat pada para pengajar dibanding pada pekerja sosial, bahkan meskipun mereka tidak ikut dalam kelas saya.
Sejujurnya pengalaman mengajar pengungsi adalah sebuah culture shock. Biasanya murid yang menemui gurunya, namun ini sebaliknya. Awalnya, mereka kurang peduli pada pendidikan sehingga saya yang harus datang menemui mereka untuk mengikuti kelas. Lalu, saya sering kaget melihat mereka. Misalnya, kadang saat marah, mereka langsung mengatakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya dan cenderung bernada tinggi, kadang sampai bertengkar di depan saya. Berbagai kejadian ini melekat dalam ingatan saya.Â
Sekarang sudah mulai banyak perbaikan dalam penanganan pengungsi. Misalnya, beberapa pengungsi sudah ada yang bersekolah di SMA negeri di sekitar akomodasi mereka. Tentu masih banyak juga yang mengeluh. Bahwa tidak semua orang Indonesia bisa Bahasa Inggris, begitupun sebaliknya. Kualitas sekolah kita juga beda-beda. Tapi setidaknya, letak akomodasi pengungsi sekarang sudah saling berdekatan, sehingga cukup membantu mereka yang dulunya tinggal di lokasi yang jaraknya jauh dari sekolah.Â
Lalu, beberapa pengungsi sempat cerita kalau temannya yang orang Indonesia menganggap hidup mereka di sini enak, karena dapat bantuan hidup. Kalau bercerita tentang suatu masalah, temannya menganggap dia kurang bersyukur. Ada juga pertanyaan tentang kenapa pemerintah menerima pengungsi dan membiayai mereka? Masih banyak orang miskin di Indonesia, kenapa harus fokus pada pengungsi? Padahal, bantuan hidup itu dari IOM, bukan pemerintah. Dan juga, coba kita lihat dari sudut pandang mereka yang segala dibatasi. Usia produktif, tapi dipaksa tidak produktif.Â
Sebenarnya saya berharap ada lebih banyak kolaborasi antara teman-teman pengungsi dan lokal. Misalnya, alangkah baiknya jika para pengungsi bisa belajar Bahasa Indonesia dari pengajar yang adalah orang lokal. Kita bisa jadi lebih kenal tentang satu sama lain. Anggapan pengungsi bahwa mereka hanya singgah di Indonesia sekitar satu, dua, atau tiga tahun mulai bergeser, karena kenyataannya tidak ada yang tahu berapa lama mereka akan tinggal di sini. Juga dengan saling mengenal budaya masing-masing, kita dapat meminimalisir hal-hal yang merugikan.
Saya juga berharap pemerintah Indonesia bisa lebih memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya warga yang tinggal di sekitar akomodasi pengungsi. Dan tentunya, pengungsi sendiri perlu lebih banyak informasi tentang aturan yang ada di Indonesia. Sebab kadang ketika ada masalah dengan orang lokal, mereka bingung. Selain karena kendala bahasa, juga karena proses pelaporan yang kadang tidak jelas. Apalagi, hukum kita cenderung lebih membela warga lokal. Intinya, perlu lebih banyak keterbukaan dan kejelasan informasi dua arah.