Memoar - Hanita (ID)
Halo, nama saya Hanita.Â
Di tahun 2018, saya menjadi relawan di sebuah program volunteer for migrants di Makassar. Saya bertugas selama enam bulan sebagai satu-satunya relawan di salah satu shelter pengungsi saat itu. Lewat kegiatan ini, saya jadi lumayan sering bertemu dengan pengungsi. Apalagi, rumah saya juga bertetangga dengan shelter itu, sehingga ada hubungan personal yang terbentuk antara keluarga saya dan mereka.Â
Sebenarnya saya sempat keluar dari makassar untuk sekolah. Waktu itu, rasanya belum banyak pengungsi. Tapi waktu kembali di tahun 2016, saya lihat banyak bule naik sepeda. Saat itu, saya belum tau kalau Makassar adalah salah satu kota yang menampung pengungsi. Setelah tahu, saya mulai mencari informasi. Rupanya, alasan orang menjadi pengungsi itu agak menakutkan. Ada alasan politik, persekusi, macam-macamlah. Masalahnya besar, jelas saja mereka mengalami trauma. Dalam pikiran saya, mereka pasti susah bahagia. Dan setelah bertemu langsung dengan pengungsi, ternyata meskipun banyak masalah, mereka bisa hidup lebih baik dan lebih bahagia dibanding yang saya bayangkan. Dari situ saya belajar bahwa pengungsi adalah orang-orang yang sangat resilien. Tidak semua orang bisa bertahan hidup seperti itu bila mengalami hal yang sesulit itu.Â
Sayangnya, berita yang pernah saya baca tentang pengungsi isinya banyak yang negatif. Misalnya tentang demonstrasi, tentang kasus bunuh diri atau prostitusi demi sesuap nasi. Saya khawatir dengan arah berita ini, yang bisa jadi menguatkan pandangan orang yang kurang tepat tentang pengungsi. Semua orang punya persepsi sendiri, dan selama tidak ada diskriminasi, tentu tidak apa-apa. Tapi ada cerita-cerita yang membuat saya jadi kesal. Misalnya, tentang anak pengungsi yang di-bully karena warna kulitnya yang lebih gelap dari kebanyakan orang Indonesia. Yang bikin saya lebih kesal adalah bila gurunya tidak mengambil tindakan, hingga si anak nangis pulang melapor ke orang tuanya. Bahkan ada yang sampai berhenti, tidak mau masuk sekolah.Â
Sebenarnya sepanjang pengalaman saya sebagai relawan, usaha yang dilakukan oleh organisasi terlibat sudah lumayan. Di Makassar, IOM sudah membangun kerja sama dengan pemerintah kota atau organisasi masyarakat. Lalu di LSKP, tempat saya menjadi relawan, sekarang ada program untuk pengungsi tentang kekerasan berbasis gender. Program relawan yang saya ikuti ini juga punya tujuan untuk membantu kesehatan mental para pengungsi melalui dukungan psikososial. Hal seperti ini yang membuat saya optimis bahwa situasi ke depan bisa menjadi lebih baik untuk mereka.
Kalau dari pengalaman pribadi, pasti ada yang bisa kita lakukan. Misalnya, kalau ada pengungsi yang tinggal dekat dengan rumah kita, bolehlah disapa, sekedar bilang hai atau senyum. Ibu dan saudara saya tidak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa mereka, tapi kami biasa mengundang mereka ke rumah untuk ikut makan.Â
Bicara soal harapan, saya sangat berharap semoga mereka semua bisa mendapatkan resettlement di negara tujuan. Aduh, saya jadi sedih ingatnya. Karena banyak pengungsi yang sampai bertahun-tahun tidak punya kejelasan. Jadi saya berharap semoga mereka semua bisa resettled, berapapun banyaknya mereka bisa ditempatkan di negara ketiga.Â
Yang kedua, saya tidak mau terlalu menyalahkan pemerintah, sebab masalah ini lebih kompleks dari yang terlihat. Saya sadar bahwa jawaban atas persoalan ini tidak sesederhana itu. Tapi mudah-mudahan pemerintah melonggarkan aturannya supaya mereka bisa bekerja atau mencari penghidupan. Ini hal yang paling mengganggu saya, karena inilah sumber masalah yang sebenarnya. Jika saja mereka bisa diberikan kesempatan untuk mendapatkan uang supaya bisa hidup, banyak masalah yang bisa selesai.Â
Yang terakhir, saya juga berharap segregasi di masyarakat kita bisa lebih berkurang ke depannya. Saya percaya generasi Z lebih open-minded, jadi mudah-mudahan hal ini bisa dicapai lewat anak-anak. Jika lebih mudah beradaptasi, pasti hidup mereka akan lebih bahagia dan lebih mudah di Indonesia. Jadi teman-teman yang tertarik dengan isu ini bisa sekali mencari komunitas-komunitas yang membantu mereka jika ingin terlibat aktif.