Memoar - Kian (IN)
Anonim – Part 2
Halo. Saya berusia 20 tahun. Saya berasal dari Iran dan saya lahir di Tehran, ibu kota dari Iran. Saat ini saya tinggal di Makassar.Â
Hidup sebagai pengungsi di Indonesia awalnya adalah hal yang sangat sulit. Terutama dalam hal berinteraksi dengan orang Indonesia lainnya. Saya tidak mengerti bahasa Indonesia dan untuk berinteraksi saya harus menggunakan bahasa isyarat, misalnya ketika saya ingin membeli sesuatu. Hal itu membuat saya jarang keluar rumah dan menghindari untuk berinteraksi dengan orang Indonesia di tahun-tahun awal saya tinggal di Indonesia.
Pada awalnya saya menemukan banyak perbedaan kultur antara Indonesia dan Iran yang mengejutkan saya. Mulai dari perbedaan bentuk bangunannya, berbagai kendaraan yang ada di jalan raya, dan bahasanya. Rumah-rumah di Makassar biasanya dibangun dengan dinding yang rendah dan agak terbuka berbeda dengan rumah-rumah di Iran yang dibangun dengan dinding yang cukup tinggi. Saya pun terheran-heran ketika kendaraan beroda dua sangat digemari oleh orang-orang Indonesia dan banyak orang berkendara dengan motor di jalan. Orang-orang Iran sendiri lebih memilih berkendara dengan mobil dibandingkan sepeda motor. Â
Saya pun baru menyadari bahwa orang Indonesia, memiliki bahasa daerah yang sangat beragam. Contohnya, bahasa yang digunakan di Kupang itu sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan di Makasar, baik kosa kata ataupun aksennya. Pada saat itu saya tidak mengerti sama sekali apa yang orang Makassar katakan walaupun saya sudah belajar bahasa Indonesia di Kupang. Saya sebenarnya ingin memiliki lebih banyak teman orang Indonesia selama tinggal bertahun-tahun di sini. Akan tetapi itu tidak memungkinkan, bukan karena saya tidak mau tetapi karena saya mendapatkan banyak hambatan secara hukum yang berkaitan dengan status saya sebagai pengungsi. Selain itu, saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka dan saya pun tidak mendapatkan pendidikan yang layak untuk mempelajari bahasa Indonesia.
Selain kesulitan dalam berkomunikasi, kami sebagai pengungsi juga mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Hal ini cukup membuat saya merasa tidak percaya diri untuk mulai bergaul dengan orang Indonesia. Ada beberapa keluarga pengungsi mendapatkan bantuan finansial dari keluarganya. Bantuan yang diberikan sebenarnya tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk kebutuhan utama seperti makan sehari-hari. Namun, banyak pula di antara kami yang tidak mendapatkan bantuan apapun, sehingga seringkali kami harus mengemis di jalanan untuk makan hari itu. Terkadang, ketika saya sedang kehabisan uang, saya hanya akan berdiam di rumah selama 24 jam. Karena saya tidak memiliki uang, bahkan untuk membayar kendaraan umum sekalipun. Kondisi finansial ini adalah hal yang paling besar kami alami sebagai pengungsi.
Saya memiliki banyak waktu luang sehingga saya menghabiskan waktu dengan teman-teman pengungsi di rumah mereka. Karena dengan mereka, kami saling mendukung dan memiliki satu sama lain untuk saling menyemangati. Selain itu, saya juga menggunakan waktu senggang saya bermain video games, menonton televisi, mendengarkan podcast dan membaca buku. Buku George Orwell dengan judul 1984 adalah salah satu buku yang terakhir saya baca. Buku itu sangat bagus dan saya merekomendasikan teman-teman untuk membacanya!