Memoar - Nurmita (ID)

Halo, saya Nurmita, usia 25 tahun, saya berprofesi sebagai karyawan swasta. Saya berasal dari Kabupaten Mamuju dan bersuku Mandar.

Berbicara tentang pengungsi, saya sudah tau hal tersebut sejak tahun 2014. Di sekitar rumah saya, ada anak-anak pengungsi yang sering datang ke pondokan. Mereka datang untuk menjual makanan dan belajar, yang kebanyakan difasilitasi oleh teman-teman yang tinggal di pondokan. Sebenarnya interaksi kami hanya sebatas pada hal itu saja. Tapi tahun ini saya bertemu dengan pengungsi dalam sebuah klub Muay Thai. Mereka berasal dari negara yang beragam, seperti Afghanistan, Iran, dan Myanmar. Kami sering bertukar cerita tentang negara kami masing-masing. Saya berbagi cerita tentang budaya Indonesia, dan mereka tentang budaya mereka. Dan yang paling seru ketika kami bicara tentang makanan khas dari negara masing-masing. Dari situ kami akhirnya jadi saling kenal.

Sampai sekarang, masih ada pandangan masyarakat yang kurang tepat tentang para pengungsi.  Sebelumnya, saya juga pernah beranggapan kalau para pengungsi disini hanya bisa menambah kuota penduduk di Indonesia. Tapi, setelah saya berinteraksi dengan mereka, berbagi cerita tentang kehidupan, sekarang saya paham alasan mengapa mereka bisa berada di sini.

Terlepas dari alasan mereka menjadi pengungsi, saya sangat senang bisa berbagi dengan mereka. Terutama ketika mereka mengajarkan saya bahasa yang mereka gunakan. Ada juga pengungsi yang bisa menirukan logat Makassar. Saya cukup tersanjung melihat mereka mampu beradaptasi dengan bahasa disini. Semangat para pengungsi untuk belajar bahasa Indonesia cukup menarik perhatian saya. Mereka belajar dengan mendengarkan orang-orang sekitarnya. Hal ini mereka lakukan agar mudah untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Kalau pengungsi Rohingya, saya cuma pernah dengar dari berita aja. Saya tidak tahu pasti bagaimana keadaan mereka. Tapi yang saya tahu mereka ditolak oleh beberapa negara, dan mungkin salah satu negara yang menerima mereka adalah Indonesia. Pengungsi yang saya temui di sini juga bukan pengungsi Rohingya, sejujurnya justru saya tidak pernah mendengar dari media tentang pengungsi dari Iran atau Afghanistan.

Kadang saya pun berpikir tentang tanah air. Bagi saya, tanah air adalah jati diri, yang mana merupakan hal yang sangat penting bagi generasi muda seperti saya. Di Indonesia sendiri, identitas itu penting, karena beberapa hal perlu identitas. Hal ini juga yang menjadi pembeda antara kita dengan pengungsi yang tidak memiliki kewarganegaraan. Mungkin saya akan sangat sedih jika mengalami hal serupa seperti mereka dan harus meninggalkan tanah air. Karena saya harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman. Lebih parahnya lagi, saya harus beradaptasi lagi dengan tempat pengungsian tersebut, dan pastinya akan ada kendala-kendala di tempat itu, dan salah satunya adalah kendala bahasa.

Sejujurnya saya kurang paham tentang usaha pemerintah Indonesia menangani masalah pengungsi. Dan saya juga tidak mencari tahu bagaimana kondisi pengungsi dan langkah pemerintah terkait hal ini. Tapi saya sangat berharap agar pemerintah dan para pihak yang terlibat dapat sesegera mungkin memberi kepastian kepada para pengungsi yang sudah cukup lama berada di Indonesia. 

Ada komentar atau saran? Silakan tinggalkan pesan tertulis atau audio di sini, Instagram @rdiuref, atau email info@rdiuref.org

Listen to the full episode (Bahasa)