Memoar - Sajjad (IN)
Halo. Nama saya Sajjad, dari Afghanistan.Â
Di akhir tahun 2014, saya harus pergi. Pertama kami pergi ke Malaysia, tapi situasi seperti memaksa kami untuk masuk ke Indonesia. Jadi dari tahun 2015, kami berada di Indonesia sampai sekarang. Cerita ini adalah cerita seorang anak yang bahkan tidak pernah pergi meninggalkan kotanya untuk ke tempat lain, tapi anak ini sekarang harus pergi dari negaranya dan tinggal di Indonesia tanpa kehadiran seorang ayah. Dan anak inilah yang bertanggung jawab penuh terhadap keluarganya.
Yang saya alami ini sangat sangat sulit dan menantang. Saya sebenarnya tidak bisa berbahasa Inggris. Hanya yang sangat dasar saja. Untungnya kemampuan ini, walau terbatas, banyak membantu saat di Malaysia. Tapi… saya tidak pernah menyangka bahwa di Indonesia, hanya satu atau dua orang saja dari 10 orang misalnya yang mengerti Bahasa Inggris. Susah sekali berkomunikasi di negara dengan penduduk hampir tiga ratus juta ini.
Waktu sampai di Indonesia bersama keluarga, saya masih berusia 17 tahun. Masalah hidup tidak hanya soal finansial saja. Tinggal di Indonesia, tanpa tahu apa-apa tentang negara ini, budayanya, bahasanya, ga tau apa-apa. Jadi, tinggal di sini, gimana caranya ke dokter waktu sakit, gimana cara bertahan hidup? Dan, ini bukan hanya tentang saya saja. Saya juga punya adik, tante, dan ibu. Mungkin, yah, banyak orang yang hidupnya sulit. Tapi, sebagai seseorang yang masih kecil, masih remaja, dan harus mengambil tanggung jawab pada keluarga, saya terpaksa berpikir sebagai orang dewasa, tidak bisa sama seperti anak remaja lainnya. Jadi saya berteman dengan orang dewasa, dengan orang lain yang juga punya tanggung jawab bagi keluarganya.
Yah, hal yang paling sulit bagi saya adalah tanggung jawab pada keluarga. Sering kali saat teman-teman seumuran saya ingin melakukan sesuatu, misalnya saja main ke mana, saya tidak bisa ikut. Karena saya punya tanggung jawab. Saat orang lain misalnya pergi ke supermarket untuk beli tomat atau apapun, saya harus memutar otak. Saya harus melihat harganya, bahkan misalnya hanya lebih murah dua ribu rupiah saja, saya harus tau. Mana nih tempat yang lebih murah? Jadi saya harus selalu beda cara berpikir dengan teman-teman seumuran saya.
Tentu kita selalu bisa berdoa dan meminta yang terbaik dari Tuhan. Tapi kita harus selalu ingat bahwa saat minta yang terbaik, kita juga harus siap akan hal yang sulit dalam hidup. Contohnya, kalau kita lihat sebuah tim, katakanlah tim sepakbola, ada pelatih di tim itu. Sang pelatih akan memberi kita waktu untuk berlatih, misalnya harus lari 30 menit. Setelah itu, lari sambil menendang dan mengoper bola. Kadang kita sedih, bahkan marah pada sang pelatih. Tapi dia selalu ada di sana, karena sebenarnya dia sedang melatih kita. Nah, saat tiba masa bertanding, makan kita akan bisa menang dengan lebih mudah. Kalu sang pelatih tidak menantang kita dan hanya bilang, ya terserah kamu mau ngapain, pasti hasilnya akan beda saat bertanding. Kita mungkin akan cepat kalah begitu saja.Â
Begitu juga dengan hidup. Ibaratnya, Tuhan adalah pelatih kita, yang bilang kepada kita untuk melakukan ini dan itu. Memuat kita berada di posisi sulit, menantang kita supaya kita bisa lebih baik menghadapi masalah hidup nantinya, karena kita sudah berhasil nih melewati situasi yang lebih sulit. Latihan ini yang bisa menolong kita di masa depan.
Intinya, saya ingin bilang agar kita menyambut masalah-masalah hidup. Berteman dengan semua masalah kita. Masalah inilah yang menjadi ajang latihan kita untuk hidup yang lebih baik di masa depan. Jangan selalu mengeluh pada Tuhan. Jika kita benar-benar percaya pada Tuhan, maka kita perlu menerima hidup ini. Aturan pertama menjadi sukses adalah menerima. Jika kita menerima, maka kita akan menemukan solusi. Kalau kita selalu mengeluh, sulit untuk menyelesaikan masalah. Menurut saya, inilah yang perlu dipelajari semua orang, tidak hanya belajar tetapi juga mengerti artinya. Tuhan bukan musuh kita. Jika kita punya masalah, berarti kita perlu belajar dari masalah itu, supaya bisa menghindari masalah itu di masa depan.Â
Mungkin tidak selalu kelihatan, tapi saya bahagia bahwa saya bisa belajar dan memahami hal ini selama di Indonesia. Hal-hal inilah yang bisa membuat saya menjadi orang yang lebih baik nantinya.