[vcw-converter symbol1=”BTC” symbol2=”USD” color=”grey” initial=”1″ fullwidth=”yes”]
 
[vcw-price-big-label symbol=”BTC” color=”orange” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]
[vcw-price-big-label symbol=”XRP” color=”amber” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]
[vcw-price-big-label symbol=”ETH” color=”yellow” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]
[vcw-price-big-label symbol=”BCH” color=”grey” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]
[vcw-price-big-label symbol=”EOS” color=”grey” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]
[vcw-price-big-label symbol=”LTC” color=”grey” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]
[vcw-price-big-label symbol=”ADA” color=”grey” currency1=”USD” currency2=”EUR” currency3=”GBP” url=”” target=”_blank” fullwidth=”yes”]

Conversation with Yuyun Wahyuningrum and Rafendi Djamin (ID)

Conversation with Yuyun Wahyuningrum and Rafendi Djamin (ID)

Selamat datang di Memento, podcast yang membahas hiruk-pikuk pengungsi perkotaan di Indonesia dan negara lain. Dalam episode kali ini, Akino dan Tesa berdiskusi bersama dua tamu yang luar biasa dari Indonesia.

Pertama adalah Yuyun Wahyuningrum, perwakilan Indonesia di ASEAN untuk Komisi antar pemerintah tentang hak asasi manusia (AICHR) 2019-2021. Yuyun saat ini sedang mengambil gelar doktor di International Institute of Social Studies, Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda. Penelitian Beliau berkaitan dengan HAM internasional dan regionalisme ASEAN dari perspektif Pendekatan dunia ketiga pada hukum internasional. Ia memiliki lebih dari 22 tahun pengalaman bekerja di bidang HAM, termasuk dengan HRWG, Forum-Asia di Bangkok, Oxfam, Child Workers, Solidarity Center, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. 

Kedua adalah Rafendi Djamin, pakar HAM dan demokrasi di Indonesia dan ASEAN. Beliau adalah Direktur Regional Asia Tenggara dan Pasifik dari Amnesty International dan mantan Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG). HRWG adalah sebuah koalisi permanen dari LSM Indonesia yang bekerja untuk Advokasi Hak Asasi Manusia Internasional berbasis di Jakarta. Rafendi adalah perwakilan Indonesia pertama untuk AICHR pada tahun 2009-2015, dan menjabat sebagai ketua AICHR pada tahun 2011. Beliau memperoleh gelar master dalam Studi Pembangunan dari Institute of Social Studies di Belanda.

Listen to the full conversation

Ada komentar atau saran? Silakan tinggalkan pesan tertulis atau audio di sini, Instagram @rdiuref, atau email info@rdiuref.org

[00:00:00] Konvensi refugee itu rezimnya agak berbeda dengan Konvensi yang lainnya. Ketika saya advokasi ASEAN mau nggak mau kita melihat lingkungan ASEAN dan situasi, lebih fokus pada situasi negara-negara anggota ASEAN yang di dalamnya juga ada refugees. Jadi ada beberapa persoalan-persoalan, saya juga waktu di forum Asia kita melakukan advokasi mengenai boat people itu ya, yang Rohingya tapi disebut boat people. Dari situlah kemudian saya juga lebih memahami rezim refugee protection di Asia Tenggara itu seperti apa kompleksitasnya, problem-problem-nya, lack of political will-nya dan lain-lain gitu. Dan dan forum Asia dulu juga sering didatangi oleh refugee-refugee dari Afganistan, dari Kamboja. Mereka adalah asylum seeker mencari status refugee di Bangkok. Saya juga pernah ke refugee camps-nya di Kanchanaburi

[00:01:00] di beberapa tempat di Thailand. Kalau di Thailand itu namanya bukan refugee camp, apa sih, kalau mereka kan bilangnya people flee from conflict, ya. Jadi karena mereka bukan state party to Refugee Convention jadi dia menyebutnya people who flee from conflict atau flee from their country, gitu. Jadi saya datang ke beberapa refugee camps yang kebanyakan didominasi oleh pengungsi dari Myanmar dengan ethnic yang berbeda-beda. Di dalamnya juga saya lebih memahami dinamika di dalam refugee camps, yang karena Myanmar itu latar belakang ethnic nationalities jadi pun karakter itu ke-bawa tuh. Jadi mereka juga mengkotak-kotakkan diri dan terkotak-kotakkan berdasarkan ethnic nationalities. Juga pembagian distribusi food segala macam itu mereka ada dinamika sendiri dalam refugees itu. Tapi kalau di, karena kita ngomongin.

[00:01:59] urban refugees ya, camp-camp itu letaknya bukan di kota. Camp-camp itu selalu letaknya kebanyakan letaknya di luar kota. Tapi detention-detention center di Thailand ada juga yang pengungsi yang di luar dari Myanmar. Kalau refugees yang di kota itu biasanya adalah mereka yang sedang berusaha untuk mendapatkan status refugees. Nah status orang-orang yang di refugee camp itu mereka ada yang mendapatkan kartu refugees dari UNHCR tapi ada juga yang memang masih ditaruh aja di situ.

Soal refugee ini masih, tetap hal yang belum mendapatkan satu comfort level untuk menjadi satu fokus pekerjaan, baik dalam IHR, HRWC, atau badan yang lain. Padahal soal refugee ini kan kemudian de facto persoalan refugee itu mereka tinggal masuk dalam konteks protracted migration, apa itu, protracted regional situation.

[00:02:59] Tidak ada masa depannya tapi harus hidup di situ. Bagaimana bisa survive, tetap menjadi membangun Dignity sebagai manusia. Kita membangun suatu harapan untuk masa depan dari masing-masing refugee atau asylum seekers tersebut. Nah ini yang saya kira menjadi menarik memang kalau berbasis dari perkotaan. Saya kira menjadi menarik, artinya dia memberikan satu evidence banyak bahwa di setiap member state akan berhadapan dengan challenge itu pada tingkat kota. Nah pada tingkat kota, adalah kewajiban setiap governance di tingkat perkotaan untuk melakukan fungsi dia sebagai pemerintah pada tingkat kota, yang tidak lepas dari tanggung jawab haknya. Tanggung jawab di perkotaan inilah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kota, berbenturan dengan situasi refugee itu.

[00:03:59] Ini yang kemudian menarik, saya kira, menjadi semacam cara untuk lebih meyakinkan member state pada tingkat nasional, bahwa you will have to support these activities to support your own part of government at the local level. Jadi secara strategis ini saya lihat satu pekerjaan yang nantinya akan mempunyai pengaruh besar pada proses pengambilan di tingkat nasional di semua member state. Terutama di Thailand yang banyak berbenturan pemerintahan kotanya, yang di Chiang Mai, di daerah perbatasan, di Bangkok, pusat kotanya. Isu urban refugee itu ditangani oleh baik oleh NGO maupun oleh pemerintah kota, yang memang kalau dari segi ASEAN itu kita lihat urban refugee itu hanya ada di Malaysia, Indonesia, Thailand. Nah di situasi Kamboja saya kira juga ada banyak urban refugees.

[00:04:59] Jadi membangun jaringan urban refugees network di Asean ini saya lihat menjadi satu upaya strategis membangun suatu dorongan secara bertahap kepada pemerintah nasional masing-masing bahwa dengan adanya situasi di kota-kota kalian di member states maka sudah sepantasnya member states mengambil upaya mencari jalan keluar pada tingkat nasional dan regional.

Begini ya. Jadi kalau ASEAN itu kita harus…kalau misalnya negaranya nggak merasa comfortable ya udah, sampai dia comfortable aja gitu. Karena kita harus diskusi bareng-bareng. Kalau kita bikin diskusi bareng-bareng kan ada ownership terhadap programnya, terhadap outputnya. Jadi kalau dia masih nggak comfortable, ya udah nggak papa. Tapi tetap diajak. Terus untuk isu refugee sekarang di AICHR itu kita entry pointnya itu pakai mix migration.

[00:05:59] Dalam mix migration itu kan ada refugee-nya, ada trafficking-nya, ada migrant workers-nya. Walaupun kata mix migration ini definisinya masih sangat blur, gitu ya. Tapi nggak papa kita di take the advantages of definisi yang kurang fix, karena dengan begitu kita bisa berkontribusi terhadap definisi itu. Jadi kita juga berkontribusi terhadap bagaimana how to define mix migration from our perspective, from our experiences, from our context. Itu penting, jadi isu refugee itu jangan dilihat dari satu konteks saja, Eropa misalnya. Eropa kan menerima lebih banyak refugees dari Middle East, dari Afrika dan lain-lain. Karakteristiknya mungkin berbeda dengan di sini. Nah  karena kebetulan definisi mix migration masih juga belum fix maka

[00:06:59] ini kesempatan buat kita untuk berkontribusi terhadap definisi itu. Jadi bagaimanapun kan definisi yang dapat diterima secara internasional itu juga prosesnya lama tapi yang paling penting adalah bagaimana berpartisipasi dalam discourse building.

Makasih, Mbak Yuyun. Aku punya satu pertanyaan mungkin tadi sudah sempat diangkat oleh Pak Rafendi ya, tentang bagaimana berbicara tentang isu ini di tingkat kota itu bisa membantu diskusi di tingkat nasional maupun regional. Jadi mungkin pertanyaan saya itu lebih ke diplomasi di tingkat provinsi atau di tingkat kota antarnegara itu punya peluang nggak sih?

[00:07:42] Kalau di isu ini ya mungkin kita tidak lagi punya pendekatan atau kita tidak lagi memulai memiliki single approach. Karena dalam situasi yang sifatnya sangat digital itu dia saling mempengaruhi jadi misalnya regional kita kadang-kadang sulit untuk berargumen bahwa ini kita bisa lakukan tanpa ada evidence atau case study yang ada di nasional. Contoh misalnya pada waktu kita Indonesia insist bahwa SDG 11 human right city, tapi namanya sustainable city ya kalau di SDGs, itu bisa masuk ke dalam five-year-work plan-nya AICHR. Terus kita kasih ini penjelasannya argumennya bahwa di kota-kota sudah ada city-city, misalnya menamakan dirinya smart cities, itu ada network-nya sendiri ya, smart cities itu lebih pada competitiveness, friendly

[00:08:42] investor, digital dan lain-lain. Terus juga ada human rights cities yang mengikuti pakem-pakem HAM. Ada yang menamakan dirinya child-friendly cities dan seterusnya. Jadi evidence yang ada di tingkat lokal itu kita bawa sebagai argumen untuk didiskusikan di tingkat regional. Regional fungsinya adalah lebih pada networking, standard-setting, norma, komitmen, kayak gitu. Jadi fungsinya lebih strengthening or providing platform di mana masing-masing kota bisa berdiskusi dalam konteksnya masing-masing. Sudah ada forum-forum kayak Gwangju lah, apa lah gitu ya. 09:37 Tapi kemudian bahwa ini dilihat dari perspektif hak asasi manusia di ASEAN itu yang kita mau introduce, dan itu sudah masuk tuh di dalam five-year-work plan. Kemudian kita juga melihat bahwa fungsi kota dalam dealing with Covid-19 juga sangat penting.

[00:09:42] Covid-19 itu kan membuat kita berpikir tidak nasional, tidak internasional, tapi sangat lokal gitu jadi ketangguhan kota itu terhadap virus terhadap pandemi itu memberikan kontribusi terhadap penurunan penyebaran virus. Kemudian itu kita masukkan ke dalam ASEAN Comprehensive Recovery Framework bagaimana kota bisa sharing of experiences ya, kalau di ASEAN ngomongnya gitu, best experience, best practices, dan juga dari kota itu, dari lingkup yang kecil kita bisa melihat, misalnya dalam Covid-19, siapa yang paling terinfeksi, siapa yang tidak mendapatkan dukungan kesehatan misalnya kayak refugees, migrant workers dan segala macam didiskusikan dalam lingkup kecil dan bagaimana kota-kota ini merespon itu. Jadi entry pointnya bukan refugees tapi 

[00:10:42] tapi ngomongnya kota. Tapi nanti akan ngelihat pas kalau ngomong HAM kan itu kan pasti akan mampu mengidentifikasi siapa yang termarjinalkan, the most marginalised group, the most vulnerable group, itu harus kalau dalam diskusi HAM. Jadi diskusi tentang kota itu akan membantu sekarang kan isunya vaksin. Bagaimana memastikan bahwa public health dalam konteks kota itu terpenuhi karena kalau kita ngomong public health ya berarti orang-orang di dalam kota itu harus mendapatkan jaminan mendapatkan vaksin. Atau paling tidak 75% dari penduduk di kota itu harus mendapatkan vaksin. Kekebalan ini tidak bisa dicapai tanpa memasukkan refugees, migrant ke dalam kategori public health untuk mendapatkan semua fasilitas kesehatan.

[00:11:36] Regional kadang-kadang pendekatan regional itu sangat tergantung pada inisiatif di dalam. Tapi ada juga inisiatif yang dimulai dari regional.

[00:11:46] Yang terpenting adalah political opportunity. Apakah itu diinisiasi dari member state, dari kota kalau konteksnya ini atau dari regional. Jadi bagaimana kita melihat dia bisa saling mendukung gitu. Kalau saya melihat dari Indonesia dari seluruh Asia Tenggara ini memang yang dari negara-negara ASEAN ini yang paling banyak menerima refugees adalah Malaysia, Thailand kemudian dilanjutkan Indonesia. Kalau Thailand sama Malaysia itu fungsinya half, menjadi destination of refugees atau dia menjadi transit. Kalau Indonesia sejauh ini dia masih dianggap dan menganggap dirinya sendiri sebagai transit of refugees. Paradigma ini penting karena ketika sebuah negara menganggap dirinya sebagai transit dia nggak nyediain hal-hal yang untuk mereka tinggal. Kalau negara itu

[00:12:46] berpikir dirinya sebagai destination maka dia berpikir itu walaupun banyak resistence-nya, ya kayak di Malaysia di Thailand juga banyak resistance-nya mereka nggak mau karena mereka nggak ratifikasi Konvensi gitu. Untuk beberapa hal misalnya untuk akomodasi juga hak-hak untuk sekolah anak itu Indonesia masih lebih baik dibanding negara yang lain walaupun kebijakannya berbeda-beda antara satu kota dengan yang lain. Ada yang membolehkan anak sekolah di SD Negeri atau SMP Negeri, ada yang nggak. Tapi masalah sertifikat ijazah itu juga masih nggak jelas gitu tapi untuk sekolah anak itu Indonesia masih lebih baik dan sering dijadikan contoh. Jadi kalau mengenai kebijakan, kebijakan Indonesia sebetulnya ketika dia menempatkan dirinya sebagai transit country dia berusaha menyediakan beberapa kebijakan-kebijakan yang paling tidak

[00:13:46] menurut dia menolong. Ini kata-kata menolong, being generous itu selalu diucapkan oleh pemerintah. Jadi pendekatannya itu lebih pada itu. Tapi ketika dia ngomongin sekolah itu, saya bangga banget ketika bilang gini, soalnya kita adalah state party to CRC itu hak anak, jadi kita memastikan supaya anak-anak ini regardless of their nationality, their status of immigration, mendapatkan akses ke sekolah. Jadi Menkopolhukam itu kan ada unit sendiri ya untuk refugees. Mereka berusaha melobi melobi pemerintah daerah untuk membolehkan anak-anak ini sekolah. Jadi kalau untuk profesi secara umum mereka menempatkan dirinya bahwa kita bukan anggota kita bukan state party, jadi kita cuma nolong. Ya udah di sini daripada bikin rusuh, social unrest ditampung dengan seadanya gitu, ada kebijakan-kebijakan yang juga dibuat untuk itu tapi tidak

[00:14:46] meletakkan dirinya sebagai state yang melindungi atau state yang memfasilitasi terjadi. Itu diserahkan ke UNHCR. Kalau si Malaysia dan Thailand pendekatannya lebih pada menolong, generosity, compassion. Tapi nggak ada tuh elemen-elemen HAM nya jadi mereka hanya ya udah syukur gua tampung gitu. Apa namanya, untuk anak juga nggak ada sekolah jadi

[00:15:15] Kalau tentang pendekatan kebijakan Indonesia masih lumayan walaupun Indonesia selalu deny dia nggak mau, takut orang pada datang ke sini atau tinggal lebih lama di sini. Kalau nggak salah waktu Pak Hasan […] itu masih jadi Direktur HAM itu ada dua meeting di Jakarta yang menghasilkan dua dokumen dalam dua waktu yang berbeda, itu kalau nggak salah Jakarta Declaration atau apa gitu. Itu isinya refugees ada yang tentang Rohingya juga ada yang tentang refugees. Jadi sebetulnya kalau kita lihat dari yang sudah dilakukan isu ini susah, sensitif tapi bukan berarti baru.

[00:15:57] Dan di level pemerintahan sudah ada upaya-upaya ke sana. Jadi Indonesia sama sekali tidak antipati terhadap refugees. Ada upaya ke sana ada beberapa orang yang para diplomat yang merasa bahwa kita harus melakukan sesuatu yang kita dengar itu selalu bawa Indonesia itu nggak ngapa-ngapain segala macam. Tapi menurut UNHCR itu Indonesia ngapa-ngapain. Cuma Indonesia langsung low profile karena dia takut orang lebih lama, dia takut orang akan datang. Walaupun dia juga tahu Indonesia bukan destination country, tidak pernah. Jadi orang itu nggak ada yang cari selamat ke Indonesia itu nggak ada. Cari selamat tuh ke Australia ke mana gitu, nggak pernah ke Indonesia gitu tapi dia takut aja kan bisa aja berubah, dan orang nih refugees ini di sini udah tinggal udah lama banget di Indonesia. Waktu itu kemudian saya suggest ke Menkopolhukam, ada semacam regional refugees governance body atau protection body.

[00:16:57] Kalau kata refugees-nya nggak mau ya udah dikeluarin aja, jadi regional governance apalah gitu. Tapi yang jelas body ini adalah badan yang dibentuk oleh si ASEAN untuk koordinasi, yang ngurus status, perpindahan orang untuk ke negara ketiga itu biar aja si UNHCR. Tapi dia harus difasilitasi kerjanya oleh anggota negara ASEAN karena dia ada di wilayah ASEAN. Nah, negara-negara ASEAN juga lah yang kemudian bisa mencarikan third country. Kan tugas UNHCR itu melobi terus memindahkan orang itu administrasinya tapi juga harus ada member state yang melobi dan diskusi tentang bagaimana settlement of refugees terutama ke negara-negara ketiga. Terus yang kedua, dia ini jadi clearing house, jadi dia lah yang

[00:17:57] mendiskusikan apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh ASEAN, dalam hal norma, rules, dan lain-lain. Jadi clearing house, karena di ASEAN ini belum ada institusi atau badan yang bertanggung untuk refugees. Untuk irregular migration itu ditangani oleh SOMTC (Senior Officials Meeting on Trans Organized Crime) [Note: yang benar adalah Senior Officials Meeting on Transnational Crime]. Refugees kan bukan organized crime. Dia migration tapi dia harusnya tidak di bawah organized crime, karena nanti dilihatnya dari perspektif security. Terus dia menjadi contact person-nya UNHCR. UNHCR itu kan sekarang kontaknya ke negara.

[00:18:38] Tapi bisa juga sebetulnya kalau kita sediain focal pointnya dia ngomong ke sini gitu. Jadi, kita sediain inilah, channel. Terus yang keempat itu jadi coordination. Kalau misalnya ada apa-apa gitu dia yang koordinasi situasi. Kayak [AHA] Centre itu kan fungsinya coordination. Dia punya […] segala macem dia tuh koordinasi di sini jadi alat komunikasi segala macam itu udah ada, punya hubungan baik dengan negara-negara, dia building up public relation, branding, segala macam tuh AHA Centre berhubungan dengan donor, menerima banyak support finance dari negara-negara donor. Jadi kan itu sebetulnya memudahkan, jadi fungsi-fungsi kayak gini kan jadi penting nih. Jadi sebetulnya pendekatan institusi ini, pendekatan norma atau yang kita sebut protection governance body

[00:19:31] memudahkan peran negara, baik dia berfungsi sebagai negara transit, negara penerima atau negara yang mengirim atau memproduksi refugees karena sekarang di dalamnya ada konflik dan lain-lain, gitu.

[00:19:47] Nah cuma, negara-negara kayak Indonesia dan negara-negara lain yang saat ini menjadi transit merasa bahwa ini adalah sebuah pengaturan yang tidak adil arrangement yang tidak adil karena negara-negara yang seharusnya menjadi negara ketiga untuk refugees selektif dan tidak mau menanggung beban persoalan sampai mereka mau, baru. Solusinya itu nggak ketemu dan stuck yang alasannya itu campur baur, ada yang protes terhadap international arrangement of refugees yang tidak adil buat negara-negara developing countries. Dan juga karena nggak ada political will juga ya dari ini dan kalau dilihat leadership juga selama 4 tahun terakhir kan leadership itu tidak ada. Jadi lack of global leadership juga sih.

Tessa

Kira-kira menurut Pak Fendi apa sih yang bisa dilakukan oleh kita baik

[00:20:47] secara individu atau pun kolektif sebagai warga negara Indonesia dan masyarakat ASEAN untuk mendorong agenda pengungsi di skala regional gitu.

Rafendi

Jadi apa yang dilakukan oleh teman-teman di tingkat perkotaan itu kan berarti yang paling real ya, artinya paling real itu setiap individu yang berada di wilayah di mana ada fenomena urban refugees atau pengungsi di wilayah perkotaan bisa langsung engage dengan berbagai macam kegiatan. Jadi pada level individu seminim-minimnya dia bisa berbuat, dia tentu bisa berbuat aktif tingkat konkret dalam bentuk aktivitas melalui jaringan-jaringan. Kalau dia tidak mempunyai waktu yang banyak untuk melakukan kegiatan aktif dia

[00:21:47] bisa terus mengikuti perkembangan baik tingkat perkotaan maupun tingkat regional. Jadi dengan berpartisipasi dalam berbagai macam kegiatan. Sekarang semua kegiatan itu menjadi digitalized. Jadi aktivitas pun mendapatkan peluang lebih banyak bagi kita sebagai orang Indonesia yang concern terhadap nasib yang menimpa teman-teman yang mendapatkan status tanpa keinginan dia sebagai refugees atau pencari suaka itu melalui berbagai macam ruang transform digital. Itu menjadi sangat mudah di zaman pandemi ini, bahkan jangkauannya bisa sampai tingkat global. Jadi kegiatan-kegiatan pada tingkat global itu sangat mudah diakses walaupun nanti hambatannya adalah persoalan perbedaan waktu.

[00:22:47] Aktif secara digital adalah satu metode yang bisa digunakan, salah satu cara untuk bisa engage dan berbuat sesuatu. Aktif secara riil dalam berbagai aktivitas bisa difasilitasi oleh kegiatan-kegiatan dan aktif dalam membantu apa yang dilakukan oleh Yuyun sebagai wakil kita komisioner di ASEAN, udah jelas tuh ada peluang di situ. Ada upaya dari Yuyun sudah menjadikan itu sebagai sebuah program yang resmi diterima oleh Komisi HAM ASEAN. Nah di situ dia udah bisa langsung engage dengan Komisi HAM ASEAN melalui Yuyun dengan aktif spesifik pada kegiatan persiapan agenda item untuk SDG11 tersebut. Apa yang bisa dibuat untuk persiapan itu?

[00:23:47] Nah, pergunakan jaringan-jaringan yang ada, yang dimiliki di tingkat perkotaan. Jadi 2 poin tersebut: mengetahui siapa orang yang berada pada posisi tertentu untuk bisa dilibatkan atau melibatkan diri. Kedua, mengetahui posisi-posisi badan-badan, baik di tingkat nasional, regional maupun pada tingkat global dan kemudian mencoba engage dengan proses tersebut. Engage pertama untuk memahami dulu. Setelah memahami, kira-kira porsi saya di mana nih untuk bisa engage. Jadi masing-masing individu bisa mengukur. Masing-masing individu, kelompok individu bisa mengukur di mana dia mempunyai kapasitas, apa yang harus ditingkatkan kapasitasnya, dan bagaimana kemudian engage-nya. 

[00:24:41] Lalu saya juga punya satu poin lagi terkait dengan pertanyaan sebelumnya mengenai adanya kenyataan sekarang yang disebut sebagai diplomasi perkotaan. Diplomasi perkotaan secara undang-undang itu kan dimungkinkan. Hubungan luar negeri bisa dilakukan oleh tingkat lokal dan itu sudah dijalankan dengan adanya berbagai macam jaringan-jaringan antar perkotaan dengan berbagai isu. Bahkan ada misalnya isu tobacco control. Tobacco control pada tingkat Asia Pasifik itu adalah jaringan perkotaan, pemerintahan perkotaan mengenai tobacco kontrol, misalnya. Nah bagaimana dengan persoalan refugees? Saya kira menjadi menarik kemudian untuk membangun jaringan perkotaan tingkat Asia Pasifik sebagai satu tujuan harus ada tingkat Asia Pasifik jaringan perkotaan yang bisa menjadi suatu platform untuk good practices, platform untuk capacity building, platform untuk advocacy.

[00:25:41] Advokasi perubahan kebijakan, baik perubahan kebijakan lokal regional maupun global. Global kita tahu kok ada Global Compact for Refugees. Tadi Yuyun bilang soal bagaimana resistance-nya negara-negara state party, negara pihak dari Konvensi Refugees justru banyak yang mengkhianati komitmen terhadap konvensi tersebut. Tapi that’s the real politic yang ada di depan kita. Makanya ada Global Compact for Refugees. Jadi dinamika yang ada di situ itu bisa diengage langsung oleh kita, di belakang meja kita ini sekarang dengan laptop kita, gitu. Kita bisa tahu kegiatan apa yang dilakukan dalam konteks Global Compact for Refugees, di mana hambatannya, apa dan di mana kita bisa engage-nya. Kita kenal Mbak Yuyun di sana ada Ibu [Danti] di ACWC, Bapak siapa di SOMTC misalnya, yang bisa kita engage dalam proses itu. 

[00:26:41] Jadi banyak sekali peluang saya melihat sebagai individu untuk bisa berbuat sesuatu bagi membantu manusia yang terjebak di dalam situasi refugee yang sangat tidak menentu, apalagi yang disebut sebagai protracted refugee situation yang ada di Indonesia ini dan Asia Pasifik. Nah satu poin lagi, jadi tadi pembentukan jaringan urban refugee network di perkotaan, kita harus engage di pemerintahannya justru. Jadi ada persatuan kota-kota, jadi bukan hanya smart cities yang dibangun spesifik untuk investasi, untuk ekonomi, untuk perdagangan. Tapi ini sekarang spesifik tentang proteksi, manajemen, best practice penanganan refugee perkotaan. Saya kira itu bisa menjadi satu target.

[00:27:41] Poin kedua, isu SDG adalah isu yang soft dalam tanda kutip, semua negara di ASEAN ini maupun di Asia Pasifik senang dengan isu SDG. Kesenangannya ini lah yang harus dimanfaatkan bahwa dimanfaatkannya tentu saja pada poin-poin, agenda tertentu yang relevan dengan cause ataupun hal yang sedang kita perjuangkan pada tingkat lokal, gitu. Jadi saya kira SDG sebagai satu entry point itu peluangnya menjadi banyak. Memang tantangannya nggak gampang, karena tantangannya bagaimana kita bisa kemudian bernavigasi dari banyaknya jaringan-jaringan perkotaan di tingkat ASEAN misalnya, ada jaringan tobacco control, ada jaringan smart cities, ada jaringan untuk human rights cities. Ini bagaimana bernavigasi di situ? Di mana mencari titik temu nya?

[00:28:41] Siapa like-minded group yang ada di dalam masing-masing jaringan tersebut yang bisa di-engage? Jadi tidak mudah memang. 

Kino

Jadi Tes, gimana Tes seru banget ya pembicaraan kita hari ini ya.

Tessa

Seru banget seru banget

Kino

Jadi apa nih point yang paling menarik nih dari pembicaraan dengan Pak Rafendi dan Mbak Yuyun?

TRANSKRIPSI AUDIO PENDEK- CLOSING

Gak ada single approach yang bisa membuat kita, apa ya…pakem untuk menjunjung hak-hak refugee. Kayak tadi, beliau-beliau bilang bahwa, kedua approach yaitu, top-down atau bottom-up itu sama-sama akan membawa dampak positif dan mendorong perubahan atau better situation. Jadi mungkin skala yang berbeda, effort yang berbeda tapi bisa bersama-sama dari level komunitas, masyarakat mungkin bisa lebih berkontribusi secara digital, seperti itu. Lalu dari tingkat kota bisa menyediakan jaringan perkotaan atau mungkin lebih ke evidence-based approach, sedangkan untuk mungkin nasional atau regional bisa lebih ke networking, agenda-setting. Jadi pada dasarnya setiap level apapun itu, asal kita berusaha, itu bisa banget sih menjunjung hak-hak refugee. Itu sih, Mbak, kalau yang paling ngena di saya.

Oh gitu ya. Kalau aku mungkin ini ya, mungkin ini ketidaktahuan aku aja, tapi yang paling AHA adalah ketika Mbak Yuyun bilang bahwa ternyata kota ini, itu tuh, udah masuk dalam rencana lima tahunannya [ICER] gitu loh. Kalau misalnya kayak gitu kan berarti sebenarnya di tingkat regional pun itu sudah mengenali peran-peran yang bisa diambil oleh kota-kota, gitu, level kota. Sementara aku tadinya berpikir bahwa oh ASEAN mungkin engage-nya itu di tingkat nasional aja kali ya, gak terlalu jauh kalau masuk ke level kota, gitu. Tapi ternyata lembaga setingkat ASEAN di region di wilayah Asia Tenggara kita ini juga mengenali peran yang bisa diambil oleh kota. Jadi aku pikir ini tuh sangat…

Sangat membahagiakan. Iya betul. Memotivasi. Sangat memotivasi aku pribadi sebagai peneliti perkotaan. Bahwa kita bisa engage di berbagai level yang berbeda, ada peluang-peluang memang yang bisa kita dorong untuk manajemen atau governance refugee yang lebih baik lagi.

Kalau boleh summary-in Mbak, kalau menurut saya, Mbak. Aduh, tapi ini sedikit promosi ya. Berarti RDI Urban Refugee itu is on the right track, gitu sih Mbak.

Oh, iya dong…